KESEIMBANGAN
DUNIA AKHIRAT
Makalah Ini
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Al Hadits Dan Pembelajarannya
Dosen pengampu
: Dr. Hj. Marhumah, M.Pd
Disusun oleh :
Deden Hadi Pranada 11410217
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN
KALIJAGA YOGYAKARTA
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kehidupan dunia
bersifat fana dan semu. Kehidupan sebenarnya adalah kehidupan setelah mati.
Namun banyak manusia yang lupa atau melupakan diri. Mereka mengabaikan tujuan
penciptaan manusia untuk beribadah kepada Alloh SWT.
Di era
perkembangan zaman yang semakin maju, terjadi kemerosotan dalam pemeliharaan
keimanan. Seperti perekonomian yang berkembang justru memalingkan perhatian
manusia untuk lebih mencari harta, bahkan sampai lupa waktu hingga
mendewakannya. Di lain sisi terdapat sebagian kaum muslim yang terjebak pada
ibadah ritual semata dan cenderung meninggalkan perkara duniawi. Sepanjang
hidupnya dihabiskan untuk beribadah dengan cara mengasingkan diri (uzlah) dari
masyarakat dan berbagai cara lainnya.
Dunia merupakan
ladang akhirat. Siapa yang menanam kebaikan akan memanen kebaikan pula. Namun,
Allah juga mengingatkan untuk tidak melalaikan kehidupan duniawi, seperti
makan, minum, bekerja, dan memberi nafkah keluarga. Maka dari itu, kami akan
membahas hadits-hadits yang berkaitan dengan keseimbangan dunia dan akhirat.
B.
Rumusan Masalah
a.
Apa bunyi hadits tentang keseimbangan dunia dan akhirat?
b.
Bagaimana asbabul wurud dikeluarkannya hadits tersebut?
c.
Apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam hadits tersebut?
d.
Bagaimana cara mengajarkan hadits tersebut kepada anak didik?
C.
Tujuan Penulisan
a.
Mengetahui hadits tentang keseimbangan dunia dan akhirat
b.
Mengetahui sebab dikeluarkannya hadits tentang keseimbangan dunia
dan akhirat
c.
Mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam hadits tentang
keseimbangan dunia dan akhirat
d.
Mengetahui metode yang tepat untuk mengajarkan materi hadits kepada
anak didik
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Teks Hadits dan Arti
عَنْ
اَنَسٍ قَا لَ رَسُولُ الله ص م : لَيْسَ بِخَيْرِ كُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لِاَ
خِرَتِهِ وَلَا اَخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ حَتَى يُصِيْبَ مِنْهُمَا جَمِيْعًا فَاِن
الدُنْيَا بَلَا غٌ اِلَى الْاَ خِرَةِ وَلَا تَكُوْنُوْا كَلًا عَلَى النَاسِ
(رواه ابن عساكر عن انس)
Bukanlah orang yang baik di antara kamu orang yang meninggalkan
kepentingan dunia untuk mengejar akhirat atau meninggalkan akhirat untuk
mengejar dunia sehingga dapat memadukan keduanya. Sesungguhnya kehidupan dunia
mengantarkan kamu menuju kehidupan akhirat. Janganlah kamu menjadi beban orang
lain. (H.R. Ibnu Asakir dari Anas dalam Kitab Tafsir al-Kasysyaf jilid 4
hal.1670)
حَدَثَنَا
عَبْدَاللهِ بْنَ عَمْرٍو بن العاصِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ ص م اَلَمْ أُخْبَرَ أَنَّكَ تَصُوْمُ وَلَا تُفْطِرُ,وَتُصَلِّى؟
فَصُمْ وَأَفْطِرْ, وَقُمْ وَنَمْ , فَإِنَّ لِجَسَدِكَ حَقًا وَاِن لِعَيْنِكَ
عَلَيْكَ حَقًا,وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حقاً
Hadis dari sahabat Abdullah bin Amr bin Ash. Rasul bersabda,
“Bukankah telah dikabarkan kepadaku bahwasannya engkau berpuasa dan tidak
pernah berbuka, serta sholat? Berpuasalah dan berbukalah serta sholatlah dan
tidurlah. Sesungguhnya bagi tubuhmu ada haq atasmu. Sesungguhnya bagi kedua matamu ada hak atasmu, dan sesungguhnya
bagi istrimu ada hak atasmu”. (H.R. Bukhori dalam kitab Shahih Bukhori jilid 3
hal.277)
Kosa
kata
berpuasa : تَصُوْمُ
meninggalkan : تَرَكَ
memadukan :
يُصِيْبُ berbuka :
تُفْطِرُ
mengantarkan : بَلَا غٌ salat : تُصَلِّى
berita : خَبَرَ beban : كَلًا
tubuh/badan : جَسَد tidurlah : نَم
mata : عَيْنٌ istri : زَوْجٌ
2.
Asbabul wurud
Latar belakang
kemunculan hadis yang ke-dua tersebut adalah kisah sahabat Abdullah bin Amru
yang berpuasa setiap hari dan salat sepanjang malam hingga berita tentangngnya
sampai kepada Nabi yang kemudian nabi mengeluarkan hadis tersebut.
Kemudian ada lagi kisah tentang Abu Darda’ dan Salman yang
diriwayatkan oleh Abu Juhaifah. Hadis ini senada dengan hadis tersebut. Namun
di dalam hadits itu terdapat peerkataan Salman kepada Abu Darda’,وَإِنَّ لِأَهْلِك عَلَيْكَ حَقًّا (sesungguhnya keluargamu [istrimu] memiliki
hak atas kamu) lalu nabi SAW menyetujuinya dalam hal tersebut. Kemudian
terdapat lafal
بَلَغَ النَّبِيَّ ص م أَنِّى أَسْرُدُالصَّوْمَ (telah
sampai [kabar] kepada nabi SAW bahwa aku
berpuasa terus menerus). Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa orang yang
menyampaikan berita itu kepada nabi SAW adalah Amr bin Al Ash.
Sedangkan Imam
Muslim dalam hadis lain meriwayatkan
dengan redaksi
عَلَيْكَ حَظًّا
(ada bagian atasmu). Kemudian dalam riwayat al Ismaili dan imam Muslim terdapat
tambahan, وَصُمْ
مِنْ كُلِّ عَشَرَةِأَيَّامٍ يَوْمًا وَلَكَ أجْرُ(berpuasalah sehari dalam setiap sepuluh hari
dan bagimu pahala 9 hari).
3.
Nilai yang terkandung
Secara tekstual
dari hadis yang pertama telah jelas bahwa kita harus menyeimbangkan antara
urusan dunia dan akhirat karena kita tak akan sampai pada akhirat jika tidak
melewati dunia. Dunia adalah tempat kita
menanam kebaikan sedangkan di akhirat kita akan memetik hasilnya jadi
keberhasilan di akhirat juga tergantung keberhasilan kita selama di dunia.
Keberhasilan ini bukanlah yang bersifat duniawi melainkan keberhasilan kita
dalam mengatur keseimbangan urusan dunia dan akhirat.
Nabi melarang
sahabatnya untuk terus sibuk beribadah dan melalaikan dunia karena manusia di
dunia adalah makhluk hidup yang memiliki karakteristik sendiri. Manusia butuh
makan untuk bertahan hidup. Apabila seseorang telah berkeluarga maka dia
mempunyai tanggung jawab akan kelangsungan hidup anggota keluarganya dan ketika
seseorang terlalu sibuk dengan kegiatan beribadah maka tubuhnya akan kurang
semangat dalam mengerjakan hal lainnya. Sehingga ketika dia tidak bekerja dan
membuat keluarganya menjadi terlantar sama saja dia berdosa karena tidak
amanat. Nabi sendiri pun telah mencontohkan bagaimana beliau beribadah namun
tidak melupakan bekerja. Pada waktu kecil beliau adalah seorang penggembala
kambing dan ketika sudah dewasa beliau adalah seorang pedagang.
Kemudian dari
hadis yang ke-dua secara tersirat juga menganjurkan kita untuk menyeimbangkan
kehidupan dunia dan akhirat. Dan hal ini harus benar-benar kita perhatikan.
Dalam hadis tersebut terdapat lafal inna yang berfungsi untuk menguatkan
makna serta penggunaan huruf jar ‘ala yang menunjukkan konotasi wajib.
4.
Cara mengajarkan kepada anak didik :
a.
Memberikan imbalan dan hukuman terhadap setiap perbuatan anak.
Ketika anak mengerjakan perbuatan baik yang bersifat dunia maka
anak diberi imbalan atau hadiah. Begitu pula ketika dia mengerjakan ibadah maka
diberi imbalan pula. Hal ini dimaksudkan agar anak tidak berat sebelah dan
mempunyai mainset yang sama tentang perbuatan duniawi dan ukhrawi.
Contoh ketika anak
berprestasi di sekolah maka dia diberi hadiah, ketika anak berhasil mengaji al-
Quran hingga selesai 30 juz juga diberi hadiah.
b.
Memberikan waktu bermain dan belajar kepada anak, namun juga
mengingatkan sang anak agar tidak melupakan ibadahnya.
c.
Memberikan pengertian serta pengajaran yang sama antara kewajiban
belajar dan beribadah.
DAFTAR PUSTAKA
Al Asqolani, Ibnu hajar. Fathul bari. Jakarta : pustaka azzam. 2008. (penerjemah)
Amiruddin.
Al Bukhori, Abu ‘Abdillah Bin Ismail. 2006. Shahih Bukhari. Beirut:
Darul Fikr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar